Fenomena healing culture : Budaya baru atau pelarian !!
- account_circle Fokus id.com
- calendar_month Jum, 18 Apr 2025
- visibility 5
- comment 0 komentar

(Poto Bola.com)
Fokusid.com_Istilah “healing” kini semakin akrab di telinga kita, terutama di kalangan generasi muda. Istilah ini tidak lagi terbatas pada konteks penyembuhan luka batin, tetapi telah meluas menjadi penamaan untuk berbagai aktivitas santai seperti staycation di hotel, menghabiskan waktu di kafe sambil ngopi, menonton film sendirian, bahkan tidur seharian di kamar. Semua aktivitas tersebut kini diberi label “healing. ”
Fenomena ini bukan sekadar tren gaya hidup, melainkan mencerminkan kondisi sosial dan psikologis yang lebih dalam—mengenai kelelahan kolektif, keresahan emosional, dan cara kita bertahan dalam dunia yang serba cepat dan sibuk, kadang tidak memberi ruang untuk bernapas. Pertanyaannya muncul: apakah healing culture ini merupakan tanda kesadaran yang sehat, atau justru sebuah pelarian dari realitas?
Dari Tren Menjadi Gaya Hidup
Awalnya, istilah healing merujuk pada proses penyembuhan dari trauma atau pengalaman emosional yang menyakitkan. Namun, seiring berjalannya waktu, maknanya menjadi lebih luas dan fleksibel. Healing kini tidak harus melalui terapi formal, melainkan dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang membawa kenyamanan, menenangkan pikiran, dan mengembalikan semangat hidup, meski hanya untuk sejenak.
Fenomena ini berkembang seiring meningkatnya kesadaran akan kesehatan mental, apalagi setelah pandemi COVID-19 yang membuat tekanan emosional semakin meningkat. Isolasi sosial, kehilangan pekerjaan, dan kecemasan akan ketidakpastian, serta interaksi digital yang melelahkan, menjadi pemicu meningkatnya kebutuhan untuk “menenangkan diri. ”
Kini, healing bukan hanya sebagai respon terhadap trauma besar, tetapi juga sebagai jawaban terhadap burnout yang dialami sehari-hari. Generasi muda, terutama Gen Z dan milenial, sering kali merasa terdorong untuk selalu tampil kuat, produktif, dan sukses di usia yang masih muda. Di tengah rutinitas yang padat, healing berfungsi sebagai rem darurat untuk menyelamatkan diri.
—
Budaya ‘Over-Productive’ dan Tekanan Sosial
Kita hidup dalam budaya yang mengutamakan produktivitas. Seseorang dianggap “berhasil” jika selalu sibuk; semakin padat jadwalnya, semakin dihargai. Padahal, tubuh dan pikiran manusia memiliki batas. Ketika terus-menerus dipacu tanpa istirahat, konsekuensinya bisa sangat serius—mulai dari gangguan tidur, kelelahan emosional, hingga depresi.
Ironisnya, istirahat sering kali masih dipandang sebagai tanda kemalasan. Ungkapan seperti “jangan rebahan terus,” “kerja dulu baru healing,” atau “masa muda harus kerja keras dulu” menjadi narasi umum. Padahal, beristirahat bukanlah bentuk kemunduran. Dengan cukup istirahat, seseorang justru bisa bekerja dengan lebih fokus dan seimbang.
Healing culture, dalam konteks ini, menjadi bentuk perlawanan kecil terhadap norma sosial yang menuntut kita untuk selalu aktif. Ini adalah pesan yang tak terucap: “Aku juga manusia, aku berhak merasa lelah, dan aku butuh waktu untuk pulih.
Pelarian atau Kesadaran Baru?
Namun, tidak semua bentuk healing adalah sehat. Dalam banyak kasus, healing hanya menjadi pelarian sementara dari masalah yang sebenarnya tidak terselesaikan. Misalnya:
– Belanja impulsif untuk “menghibur diri” justru menimbulkan stres finansial,
– Konsumsi makanan berlebihan atau tidak sehat,
– Berlibur hanya untuk melupakan masalah, bukannya menyelesaikannya.
Fenomena ini seperti memberikan plester pada luka yang dalam; rasa sakit mungkin berkurang sesaat, tetapi luka itu tetap ada. Tanpa disadari, healing bisa menjadi anestesi yang menumpulkan rasa, bukan menyembuhkan luka.
Namun, di sisi lain, kemunculan ruang-ruang diskusi mengenai kesehatan mental, praktik self-care, journaling, terapi, dan meditasi membawa angin segar. Banyak orang kini semakin terbuka untuk membicarakan luka batin mereka, mencari bantuan profesional, dan mengembangkan rutinitas yang lebih mindful. Di sinilah terletak transformasi budaya penyembuhan: dari sekadar tren menjadi kesadaran mendalam.
Ekonomi Emosional: Ketika Healing Menjadi Komoditas
Fenomena budaya penyembuhan ini tidak hanya menyentuh ranah personal, tetapi juga memberikan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan. Saat ini, kita melihat pertumbuhan pesat di sektor-sektor yang menawarkan “ketenangan” sebagai produk:
– Industri pariwisata kini menyediakan konsep wellness travel retreat yoga, glamping di alam terbuka, dan staycation di villa yang tenang.
– Produk self-care seperti lilin aromaterapi, skincare, diffuser essential oil, dan buku journaling pun mengalami lonjakan penjualan di pasaran.
– Kafe, ruang kerja bersama, dan studio meditasi merancang tempat mereka dengan estetika yang menenangkan, menjadikannya ideal untuk pengalaman “healing”.
Inilah yang disebut ekonomi emosional, sebuah pasar yang berkembang dari kebutuhan manusia akan kedamaian dan pemulihan. Budaya penyembuhan menjadi bagian dari gaya hidup konsumsi, dan perusahaan pun menanggapi perkembangan ini dengan bijak.
Namun, perlu diingat bahwa penyembuhan yang sejati bukanlah sesuatu yang bisa dibeli. Ia merupakan proses yang dibangun dari dalam diri. Produk dan pengalaman hanyalah alat bantu, bukan tujuan akhir dalam perjalanan kita.
Budaya Healing: Membangun Masyarakat yang Lebih Sadar
Dari perspektif yang lebih luas, budaya penyembuhan juga membawa harapan baru. Ia menunjukkan bahwa kita sebagai masyarakat mulai menyadari pentingnya merawat diri, tidak hanya dari segi fisik tetapi juga mental dan emosional.
Kita mulai belajar untuk tidak lagi meremehkan masalah mental dengan ungkapan seperti “baper” atau “kurang bersyukur”. Kita mulai memahami bahwa setiap orang memiliki luka dan berhak untuk menyembuhkannya dengan cara mereka sendiri.
Komunitas-komunitas pendukung kesehatan mental bermunculan, mulai dari ruang curhat online, program konseling berbasis komunitas, hingga gerakan self-love yang semakin populer di media sosial. Ini semua adalah langkah positif menuju masyarakat yang lebih empatik, lembut, dan manusiawi.
Apa yang Sebenarnya Kita Cari dari Healing?
Pada akhirnya, budaya penyembuhan bukanlah sesuatu yang perlu kita kritik atau puji secara berlebihan. Ia mencerminkan kondisi sosial saat ini—bahwa manusia modern sering merasa lelah, bingung, dan kadang kehilangan arah. Di tengah tantangan ekonomi, krisis eksistensi, dan dinamika dunia yang cepat, kita perlu menemukan waktu untuk bertanya pada diri sendiri: bagaimana keadaan jiwa kita?
Mungkin, penyembuhan bukanlah tentang pergi ke lokasi yang eksotis atau membeli produk mahal. Mungkin, penyembuhan adalah saat kita mulai jujur pada diri sendiri, memaafkan masa lalu, dan mencintai hidup dengan semua kekurangan yang ada.
Oleh karena itu, daripada bertanya apakah budaya penyembuhan ini merupakan pelarian atau bentuk kesadaran, mari tanyakan yang lebih mendalam: apa sebenarnya yang sedang kita sembuhkan? Dan bagaimana kita dapat menciptakan budaya yang tidak hanya produktif, tetapi juga peduli pada keutuhan jiwa?
Penulis Fokus id.com
Fokusid.com merupakan sebuah platform media informasi yang hadir untuk memberikan akses berita dan pengetahuan yang akurat, terpercaya, dan berimbang kepada masyarakat. Sebagai alat media informasi, Fokusid.com berkomitmen untuk menyajikan konten yang relevan dan berkualitas,Dengan mengedepankan integritas jurnalistik dan prinsip keberimbangan dalam penyajian informasi.
Saat ini belum ada komentar